Oleh Mahyuddin, S.Pd, M.AP
Pemilihan umum (Pemilu) yang dilaksanakan serentak pada 2024 mendatang, akan menjadi pesta demokrasi terbesar dalam sejarah pemilu di negeri ini, karena dilaksanakan serentak dalam tahun yang sama yakni, pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, DPRA, maupun DPRK serta pemilihan kepala daerah (Pilkada).
Masyarakat Indonesia tentu berharap, pelaksanaan pesta demokrasi ini bukan saja sukses digelar, akan tetap harus menghasilkan Pemilu 2024 yang berkualitas.
Untuk menentukan Pemilu yang berkualitas sebagai ajang pemberian mandat oleh rakyat kepada utusannya itu, maka diharapkan para pihak, khususnya penyelenggara Pemilu untuk tetap menggunakan hati nurani dan integritasnya agar menghasilkan Pemilu yang jujur dan adil seperti yang diharapkan oleh rakyat sebagai pemberi mandat.
Dalam menghasilkan Pemilu yang berkualitas tak terlepas dari etika penyelenggara yang harus mengedepankan moralitas dan berprinsip jujur, bertanggungjawab serta tidak memihak (independen) kepada salah satu partai politik maupun calon peserta Pemilu lainnya.
Untuk menghasilkan Pemilu yang berkualitas harus dibarengi niat suci bahwa tanggungjawab penyelenggara juga akan dimintakan oleh Tuhan dihari akhirat, sejauh mana dalam menjalankan amanah yang telah dimandatkan oleh bangsa dan negara.
Penyelenggara harus jujur dalam menjalankan tugasnya, seperti dalam melakukan verifikasi faktual sehingga tidak bermain mata dengan salah satu partai. Mengingat, dengan banyaknya partai politik bukan tidak mungkin sangat rawan terhadap pemalsuan data masyarakat, serta data lainnya untuk memenuhi syarat sebagai peserta pemilu di kabupaten/kota.
Pengalaman, pada pemilu periode lalu misal, masih ada partai politik yang sengaja meminta beberapa warga agar memenuhi undangan partai saat dilakukan verifikasi, bahkan dari hasil temuan orang yang memegang tiga kartu anggota partai, belum lagi yang tak memiliki sekretariat, jadi saat terjun tim verifikasi sekretariat disewakan dadakan, asal dianggap menuju syarat.
Verifikasi sebelum berlangsungnya pesta demokrasi ini sangat penting dalam menjaga kualitas Pemilu, bahkan penyelenggara seperti KPU/KIP harus berpedoman pada Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 384 Tahun 2022, tentang Perubahan Keempat atas Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 260 Tahun 2022, tentang Pedoman Teknis Bagi Komisi Pemilihan Umum.
Tak hanya itu, tahapan lainnya yakni pencocokan dan penelitian data pemilih (Coklit), yang dilakukan oleh Pantarlih harus akurat dan mutakhir. Pantarlih yang dihasilkan oleh Panitia Pemungutan Suara (PPS) harus bekerja super ekstra dan lebih teliti dalam melakukan pendataan peserta pemilih, jangan sampai yang telah meninggal dunia juga ikut terdata sebagai pemilih, dan hal itu kerab terjadi seperti pada Pemilu sebelumnya, begitupun dengan data usia yang telah wajib memilih, serta bagi mereka yang tidak memenuhi syarat, ini pun tak boleh luput seperti yang termaktub dalam UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu.
Mereka yang melakukan Coklis ini juga mesti diawasi oleh Panwaslu Kelurahan/Desa sejauh mana kecocokan data apakah sipemilih memenuhi syarat atau justru tidak memenuhi syarat sebagai pemilih. Begitupun pada tahap pencoblosan dan perhitungan suara harus benar-benar diawasi agar tidak terjadinya kecurangan yang merusak nilai demokrasi.
Tak hanya KPU, peran Bawaslu juga menempati posisi yang sangat sentral dan sakral dalam menjaga integritas untuk menghasilkan pemilu yang jauh dari sengketa, pengawasan harus dilakukan di semua tahapan pemilu. Seluruh prosesnya harus diawasi dengan sangat cermat, ditangani dengan sangat hati-hati, untuk mewujudkan data yang valid serta hasil pemilu yang berkualitas.
Dalam menghasilkan Pemilu yang bersih dan berkualitas tak terlepas dari etika penyelenggara, begitupun para penyelenggara yang dihasilkan harus benar-benar jujur dan bermoral serta tidak dari hasil jual beli posisi saat rekrutmen terjadi.
Moralitas dan integritasnya penyelenggara Pemilu ini mesti terjaga, sebagai pemegang amanah, penyelenggara harus mengedepankan etika dan prinsip jujur untuk menghantarkan para pemegang mandat rakyat sebagai pemimpin yang dihasilkan dari pesta demokrasi.
Misal, dalam menjaga integritas penyelenggara tentu diharamkan memungut rupiah dari hasil seleksi Bandan Adhoc penyelenggara Pemilu, begitupun sebuah penilaian yang dilakukan semestinya juga harus objektif, cakap, jujur dan berintegritas.
Tak hanya itu, yang lebih urgent saat memasuki tahapan pencoblosan maupun perhitungan suara, sejauh mana nurani penyelenggara dikedepankan, atau justeru telah ‘berselingkuh’ dengan salah satu calon maupun partai, disini lagi-lagi moralitas, etika dan integritasnya dipertaruhkan.
Semestinya, sebagai penyelenggara sifat keji dan tak terpuji itu harus dihilangkan, karena negara ini telah membayar demi mengantarkan proses demokrasi kearah yang lebih baik, berkualitas serta dapat diterima oleh semua pihak, dari yang menang maupun yang kalah dalam kontesta. Oleh karena itu etika penyelenggara sangat menentukan kualitas Pemilu yang saat ini telah terbentang didepan kita. *
Penulis Ketua Forum Masyarakat Aceh Transparansi (ForMAT) dan juga sebagai Presidium KAHMI di Aceh Timur