RILISNEWS.COM ACEH TIMUR – Puluhan juta rupiah Dana Desa (DD) setiap tahun yang diplotkan untuk setiap Posyandu di Aceh Timur diharapkan agar setiap Desa mampu keluar dari kasus bayi kurang gizi serta stunting.
Dana itu dikucurkan dalam bentuk Pelaksanaan posyandu, makanan tambahan bayi, untuk ibu hamil maupun lansia di setiap desa dalam Provinsi Aceh.
Namun miris, masyarakat mengaku, terutama kaum ibu yang meiliki bayi dan Balita, bahwa pemberian makanan tambahan untuk bayi dan balita tidak sepadan bila dibandingian dengan plot dana yang dianggarkan setiap tahunnya.
Di Aceh Timur misalnya, tepatnya di Desa Kuala Leuge, Kecamatan Peureulak, ibu Balita ini yang tidak ingin ditulis namanya mengaku hanya menerima sebungkus roti kecil yang berukuran mini dari penyelenggara Posyandu di desa itu.
Bukan saja anaknya, Ibu Rumah Tangga (IRT) ini juga mengaku bahwa sebanyak lebih kurang 40 peserta balita lainnya juga mendapatkan makanan tambahan bayi yang diduga tak mempunyai nilai gizi itu, dan terkadang bungkusan ataupun snack yang dibagikan terkadang nilainya tak lebih dari lima ribu rupiah.
“Kami tentu berharap bayi-bayi dan balita disini memenuhi asupan gizi yang cukup, nyatanya setiap kali Posyandu kadang ya cuma roti snack begini, kalau sebelumnya ada dikasih buah semangka yang dipotong-potong dan bengkuang sedikit, akhirnya buah-buahan yang dicincang dalam plastik itu kami yang makan untuk buat rujak, karena takutnya anak-anak bisa mencret, ya saya yang makan jadinya,” ujar salah seorang ibu balita disana.
Ia berharap agar asupan gizi itu cukup, apalagi selama ini anggaran dari desa sangat memadai yang dianggarkan dalam APBG Gampong, sehingga makanan tambahan bayi dan untuk pencegahan stunting bagi ibu hamil bisa terpenuhi.
“ya bagai mana lagi, apa yang dikasih kami tetap terima saja, kalau kita protes nanti takutnya jadi nggak enak, jadi ya terima aja apa yang dikasih walaupun hanya sebungkus roti,” tambahnya.
Terkait informasi dari warga itu, Ketua Aliansi Keadilan Aceh (AKA) Hawalis ikut mempertanyakan penggunaan anggaran desa yang diperuntukan khusus penyelenggaraan Posyandu dan stunting di desa itu, menurutnya semua bukan saja penyelenggara posyandu saja seperti Bides dan kader yang harus bertangungjawab untuk perbaikan gizi bagi balita, akan tetapi kepala desa juga harus dipertanyakan kalau sampai informasi itu benar.
“Jika informasi itu benar maka perlu dipertanyakan, kemana saja anggaran posyandu dan stunting itu mengalir, terkait kebutuhan makanan tambahan untuk bayi dan bumil ini tidak boleh main-main, karena ini sifatnya wajib dan mesti dilaksanakan sesuai aturan, begitu juga tentang penggunaan anggran makanan untuk balita itu tidak boleh dimark-up, dan ini tentunya berlaku untuk semua Gampong yang ada di Aceh Timur,” sebut Hawalis.
Hawalis juga menambahkan, sosialisasi saja terkait pencegahan stunting itu tidak cukup, tetapi pengawasan anggaran yang diplotkan juga penting bagi pendamping, apakah anggaran yang diusulkan itu sudah terpenuhi untuk ibu hamil balita dan juga bayi, kalau tidak dikontrol oleh instansi terkait tentunya anggaran desa itu sia-sia dan tidak digunakan maksimal untuk mencukupi kebutuhan gizi bagi bumil dan bayi.
Selain ada disejumlah Gampong dalam Kecamatan Peureulak, Hawalis juga mengaku bahwa pihaknya telah mendapatkan laporan dari beberapa kecamatan lainnya di Aceh Timur, terkait penyaluran dana stunting dan posyandu dari beberapa Keuchik kepada kader maupun bides tidak sesuai, terkadang ada yang hanya menjatahkan Rp 1 juta rupiah perbulan untuk kegiatan itu.
“Yang jadi pertanyaan dana untuk kegiatan itu puluhan juta pertahun sisanya dikemanakan,” tanya Hawalis.
Untuk itu, pihaknya berharap harus ada instansi terkait yang harus meluruskan masalah itu, jika ada yang main-main lembaga AKA berharap agar dilakukan audit sehingga hak para balita maupun bayi tidak ikutan di ‘sunat’ oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
“Tentunya kedepan perlu pengawasan dari pihak pendamping, Puskesmas, dan instansi terkait, karena program ini sangat serius untuk mencegah stuntung dan memenuhi gizi bagi balita Indonesia. Untuk itu anggaran desa yang diplotkan untuk balita dan stunting harus menjadi perhatian dan pengawalan kita bersama, karena itu kewajiban yang harus tersampaikan dengan baik untuk msyarakat disetiap desa,” tegas Hawalis.
Lebih jauh Hawalis juga merincikan, terkait anggaran Dana Desa (DD) untuk Gampong Kuala Leuge. Seperti tertera dalam Sistem Informasi Desa (SID) untuk tahun 2020 lalu, mencapai Rp.800.622.000,- rupiah juta rupiah lebih.
Dana itu turut dianggarkan untuk pencegahan stunting dan penyelenggara Posyandu (makanan tambahan bayi, dan juga ibu hamil Rp12.000.000,- rupih, serta pencegahan bayi stunting Rp18.820.000,- rupiah. “Dari total kedua aitem itu saja sudah mencapai Rp.30.000.000,- rupiah lebih, jadi semestinya setiap bulan itu harus dibelanjakan untuk gizi bayi dan balita maupun bumil itu Rp2,5 juta rupiah perbulan agar program gizi seimbang dan mencapai target. Bukan sekitar dengan anggaran yang hanya Rp400 ribu, itu tentu tidak cukup,” kritik ketua AKA.
Sementara itu, awak media ini belum mendapatkan konfirmasi dari Keuchik (kepala desa) setempat terkait dengan informasi itu. Nomor hanphone milik Keuchik Kuala Leuge yang sempat beberapa kali dihubungi awak media sejak Sabtu malam, tidak terhubung sampai berita ini ditayang. (Jamal)