Kartu UKW Dicabut, Muhammad Saleh: Itu Jalan Terbaik dari Allah, Tak Mungkin Saya Halalkan “Daging Babi”

Muhammad Saleh (Foto: Istimewa)

RilisNews.com | Banda Aceh – H. Muhammad Saleh, mantan anggota PWI Aceh menanggapi biasa saja, terkait pencabutan SERTIFIKAT DAN KARTU KOMPETENSI UTAMA atas nama dirinya oleh Dewan Pers.

Begitupun, dia mengaku hingga saat ini belum menerima surat keputusan tersebut. Padahal, dari surat yang dia terima dari rekannya tertulis, surat tadi ditanda tangani Ketua Dewan Pers Mohammad NUH, tanggal 20 November 2020.

“Tadi malam, usai saya menulis laporan indept dengan tema: Proyek Multiyears dan Dana Refocusing Covid-19. Menanti Kado “Tahun Baru” KPK Untuk Rakyat Aceh. Sekitar pukul 20.00 WIB, seorang kawan mengirim surat itu melalui WA. Kayaknya ada yang kebakaran jenggot,” kata Muhammad Saleh, Senin, 14 Desember 2020 di Banda Aceh.

Bacaan Lainnya

Sesuai KEPUTUSAN DEWAN PERS, NOMOR: KEPUTUSAN DEWAN PERS NOMOR: 26/SK/-DP/XI/2020, TENTANG PENCABUTAN SERTIFIKAT DAN KARTU KOMPETENSI UTAMA ATAS NAMA MUHAMMAD SALEH menyebutkan. Pencabutan itu berdasarkan Surat Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia Nomor, 683/PU/I-P/IJ(XIII/2019, tertanggal 11 Desember 2019. Isinya tentang Rekomendasi Pencabutan Sertifikat Wartawan Utama atas nama Muhammad Saleh.

“Sebelumnya saya anggota PWI dan mengikuti UKW Utama melalui PWI yang merupakan partisipan (anggota) Dewan Pers. Karena itu wajar bila organisasi wartawan “warisan Orde Baru” itu mengusulkan pencabutan UKW saya, karena saya tidak menjadi anggota lagi. Alhamdulillah, itulah yang terbaik dari Allah SWT untuk saya,” ucap Muhammad Saleh atau akrab disapa Shaleh ini.

Menurut Shaleh, dia menjadi anggota PWI sejak tahun 1996 atau sekitar 24 tahun silam. Mulai di Aceh hingga hijrah ke Jakarta (anggota PWI Jaya). Rentang waktu tersebut, dia merasakan berbagai dinamika terjadi. Terutama dari oknum anggota dan Pengurus PWI Aceh yang tak memiliki integritas dan kualitas personal dalam melahirkan berbagai karya jurnalistik.

Akibatnya, memunculkan persaingan tidak sehat. Apalagi, namanya sempat muncul sebagai calon Ketua PWI Aceh, sehingga ada pihak yang merasa tersaingi dan menempuh cara-cara keji.

“Paska kepemimpinan H. Sjamsul Kahar, sosok ketua dan pengurus PWI Aceh nyaris tak berkualitas. Mayoritas dipegang jurnalis dengan status koresponden dan bahkan mantan tukang photo keliling,” kritik Shaleh.

Itu sebabnya, diakui Shaleh, baik secara moral maupun kualitas pemahaman tentang jurnalistik, dirinya sering berbenturan dengan beberapa oknum wartawan di Aceh. Terutama yang menghalalkan berbagai cara untuk meraih keuntungan pribadi maupun kelompok.

“Insha Allah, walau saya dipecat dan Kartu UKW PWI saya dicabut. Sebagai seorang muslim, saya tetap tak akan menghalalkan “daging babi” untuk dimakan, walau saat disembelih mengucapkan; basmallah (bismillahirrahmanirrahim),” kata Shaleh bertamsil.

Menurut dia, praktik menghalalkan segala cara itulah yang terus terjadi di Aceh. Terutama dari oknum wartawan yang mengantungkan hidupnya dari memfitnah dan berkolaborasi dengan pengusaha hitam dan penguasa zhalim.

Nah, terkait putusan Dewan Pers (DP), menurut Shaleh, merupakan putusan sepihak yang tidak didasari atas azaz equality of right atau persamaan hak.

“Sebab, keseluruhan proses yang dilakukan sejak polemik bergulir dari PWI sampai keluarnya putusan tersebut, merupakan rangkaian proses yang tidak berimbang. Keseluruhan keterangan, penjelasan dan alat bukti yang kami ajukan dengan serta merta diabaikan dan sama sekali tidak dipertimbangkan,” ungkap Shaleh.

Sebagai institusi yang berhasrat “mengadili” sengketa yang terjadi dalam praktik jurnalistik. Melalui putusannya tersebut menunjukkan bahwa, DP tidak memenuhi syarat lembaga “peradilan” karena secara nyata mengabaikan azaz imparsialitas dalam menangani sengketa.

“Jadi memang keputusan sudah disiapkan. Konfirmasi yang dilakukan PWI dan DP terkesan hanya untuk menjalankan mekanisme dan memenuhi prosedur. Sebab, dalam seluruh proses pemeriksaan sampai dengan putusan mengabaikan perlakuan yang adil kepada kepada kami selaku pihak yang berkepentingan”.

Tak hanya itu, tegas Shaleh. Putusan PWI dan DP tidak mempengaruhi praktik, independensi dan kompetensi jurnislitik yang sudah puluhan tahun dia tekuni secara terus menerus.

“Semua itu saya pertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan publik sebagai pemilik sah kedaulatan jurnalistik,” sebut Shaleh.

Keyakinan m.oral itu diperkuat saat Konferensi Provinsi ke XI PWI Aceh di Anjong Mon Mata, Kompleks Meuligo Gubernur Aceh di Banda Aceh, Kamis, 3 Desember 2015 lalu.

Ada sekitar seratusan lebih anggota PWI Aceh menolak pemecatan dirinya. Itu terjadi dihadapan utusan PWI Pusat Atal Dapari yang saat ini menjadi Ketua PWI Pusat.

“Dengan berbagai kelemahan yang saya miliki. Biarlah kawan-kawan wartawan dan rakyat Aceh yang menilai secara hati nurani. Dari mana awalnya dan bagaimana proses akhirnya kasus yang saya hadapi. Jangankan pemecatan, teror granat pun sudah kami hadapi untuk mewartakan informasi apa adanya kepada publik. Saya yakin, ada hikmah Allah SWT dibalik semua ini,” kata Shaleh.

 

Sumber: modusaceh.co

Pos terkait